Facebook Twitter Google+ SoundCLoud

Selasa, 09 Juni 2015

Mimpi Timun Pelangi Impian



Entahlah susah banget nyari judul untuk cerita ini. Cerita ini sebenarnya saya buat saat mendapatkan tugas Bahasa Indonesia kelas 12 di SMA. Kalau difikir-fikir sih, cerita ini merupakan gabungan dari beberapa cerita yang sudah familiar di mata dan telinga kita. Maklum saya bukan orang yang ahli meulis, jadi cerita ini pun cerita yang cukup "seadanya" haha. Cekidott !!!

---
Suatu ketika, hiduplah sepasang suami istri nelayan yang bernama Tarikh dan Siti. Mereka hidup bahagia di pesisir pantai Kampong Gantong. Namun sayang kebahagiaan mereka kurang lengkap, karena belum juga dikaruniai anak. Setiap hari mereka selalu berdoa kepada Yang Maha Kuasa berharap dikaruniai seorang anak.
Suatu malam, terlihat suami istri itu tertidur lelap. Tiba-tiba sang istri berteriak dan terbangun hingga suaminya pun ikut bangun.
“Kau taka apa, Siti?” tanya suaminya.
Kemudian istrinya menjawab dengan terengah-engah, “Aku bermimpi, Pak. Ada seseorang dengan penampilan meyeramkan datang ke rumah kita.”
“Sudahlah, itu hanya mimpi, Bu.”
“Tapi Pak, dalam mimpiku dia menyimpan sesuatu di rumah kita. Aku takut ini pertanda buruk.”
“Tenanglah! Tak akan terjadi hal buruk apapun. Lebih baik kau kembali tidur, hari masih sangat gelap!”
Namun tetap saja Siti terbawa fikiran oleh mimpinya.
Pagi harinya, saat Siti sedang menyapu daun-daun yang berserakan di depan rumahnya, ia melihat sesuatu yang bercahaya di balik pohon kelapa. Tentu ia penasaran dengan benda itu.
“Bapak! kemari, Pak!” teriaknya.
“Ada apa, Bu? pagi-pagi sudah teriak.”
“Itu, Pak, ada sesuatu dibalik pohon!” sambil menunjuk ke arah pohon kelapa.
“Walah. Apa itu, Bu?” tanya Tarikh sambil tercengang.
“Ayo lihat kesana, Pak!” sambil menarik tangan suaminya untuk melihat benda di balik pohon kelapa itu.
“Ya Allah, Pak! Buah timun ini besar sekali.”
“Iya, Bu. Dari mana datangnya ya?” tanya suaminya kebingungan.
“Yasudah bawa saja ke rumah, Pak!”
“Baik, Bu, tapi tolong bantu aku mengangkatnya! Timun ini berat sekali.”
Kemudian ditaruhlah timun itu di atas meja. Tapi entah kenapa Siti terlihat ketakutan. “Pak, ini benda yang sama seperti di mimpiku.” bisiknya.
“Ini tak ada hubungannya dengan mimpi, Bu. Coba kita belah saja timun ini. Tolong ambilkan pisaunya!” perintah suaminya.
“Ini, Pak!” sambil memberikan pisau.
Saat Tarikh menancapkan pisaunya pada timun itu, terdengar samar-samar tangisan bayi. Tanpa pikir panjang Tarikh membelah timun itu. Dan sungguh mengejutkan karena sumber tangisan tadi adalah seorang bayi perempuan cantik yang ada di dalam timun itu.
“Subhanallah, Pak, ada bayi. Doa kita dikabulkan Pak.”
“Mungkin seprti itu. Ini anugerah dari Tuhan untuk kita, Bu.”
Suasana menjadi haru, yakni haru kebahagiaan. Tarikh dan Siti merawat bayi itu dengan penuh cinta. Dengan adanya kehadiran bayi timun itu, keadaan rumah mereka tidak lagi sepi. Selalu ada tangisan bayi setiap harinya.
Diurusinya anak timun itu hingga menjadi gadis kecil yang cantik. Berkulit cokelat dan berambut hitam. Sahara namanya. Kini ia berusia tujuh tahun. Saat bagi kedua orang tuanya untuk mencarikan tempat belajar bagi anak timun mereka.
Suatu hari, Tarikh mengajak Sahara berjalan-jalan di sekitar kampong. Ketika sedaang mekihat keindahan danau, seorang wanita menghampiri mereka. Terkejutlah Tarikh saat wanita itu menepuk pundaknya.
“Permisi, Pak, apa gadis ini anak Bapak?” tanya wanita itu.
“Iya benar, ada pa dengan anak saya?” balas Tarikh.
“Saya sedang mencari sepuluh orang anak untuk saya ajar di sekolah miring di sana, Pak.” sambil menunjuk sebuah bangunan kayu yang nampak tua. “Apakah Bapak mengizinkan saya untuk membawa anak ini menjadi murid ke sepuluh saya?” lanjutnya.
“Tentu saja. Saya memang sedang mencari tempat belajar untuk Sahara.” jawab Tarikh lantang.
“Jadi namamu Sahara? Alhamdulillah, Sahara cantik, besok kau bisa belajar dan bermain bersama teman-temanmu yang lain di sana.” Ucap wanita itu sambil mengusap kepala Sahara dengan wajah yang sagat ceria.
Keesokan harinya, Sahara diantarkan ke sekolah miring. Meskipun ternyata Sahara itu murid perempuan satu-satunya , tapi dia tetap bergaul dengan senang hati. Baru hari pertama saja, mereka sudah menunjukkan keakrabannya. Muslimah, guru di sekolah itu sangat bahagia menyaksikan keceriaan anak-anaknya. Meski dengan segala keterbatasan yang ada di sekolah itu, ia tetap bertekad menjadikan kesepuluh muridnya menjadi generasi sinergi.
Seiring baerjalannya waktu, Sahara dan teman-temannya bertambah usia. Lima tahun sudah mereka belajar di sekolah miring itu. Sahara telah mengetahui bahwa dirinya adalah anak timun. Meskipun begitu, dia tetap menjalani hidupnya dengan semestinya. Dia semakin mengerti arti hidupnya. Hingga dia bisa menemukan impiannya untuk terbang bersama kedua orang tuanya ke tempat yang indah.
Saat Tarikh, Siti, dan Sahara berkumpul bersama, mereka membahas tentang cita-cita anaknya itu. Tarikh dan Siti mengetahui bahwa anaknya itu adalah murid teladan. Tentu saja, Sahara adalah anak yang rajin dan pintar. Dengan keteladanannya itulah dia menjadi panutan bagi teman-temannya dan kesayangan Muslimah.
“Kau memang hebat, Nak. Bapak dan ibu bangga kepadamu.”


PAK KETIPAK KETIPUNG MEJIKUHIBINIU!!!
Syair yang selalu ditembangkan dengan penuh semangat oleh Sahara, gadis cantik nan pintar . Sekolah alam mereka telah memberi berbagai inspirasi kepada anak-anaknya. Seperti halnya saat di bukit pelangi. Tempat dimana anak-anak sekolah miring menikmati keindahan bias pelangi.
Saat itu Sahara bertanya kepada gurunya “Ibunda, aku sangat ingin pergi ke ujung pelangi itu.”
“Tentu bisa, Sahara.” jawab Muslimah sambil tersenyum.
“Kalian semua harus bisa dan pasti bisa meraih impian kalian masing-masing. Ibunda yakin bahwa kalian memiliki tekad yang sangat kuat dalam meraih mimpi. “ lanjutnya. Semua mata tertuju pada pelangi sambil merangkul teman seperjuangannya. “ANAK PELANGI! KALIAN LUAR BIASA!” teriak Muslimah dan dibalas dengan tawa gembira dari anak-anak pelanginya itu.

Beberapa waktu Sahara tidak hadir sekolah. Sudah pasti Muslimah dan anak-anak lain khawatir padanya. Mereka sangat mengharapkan kabar darinya. Keseokan harinya pun dia tidak juga datang. Muslimah masuk ke tempat belajar dan tiba-tiba menyuruh anak-anaknya untuk berkumpul.
“Anak-anak, Ibunda dapat surat dari Sahara.” lontar Muslimah.
“Bacakan saja bunda! Kami semua ingin tahu.” Jawab Mahar.
Kemudian Muslimah membacakan suratnya.
Ibunda guru
Ayah ibuku telah meninggal dunia.
Nanti aku akan ke sekolah.
Untuk mengucapkan salam perpisahan terakhirku.
Kepada guru dan teman-teman.

            Semua menangis tak terkendali. Seketika Mahar berlari dengan tujuan untuk bertemu dengan Sahara. Butuh waktu yang cukup lama hingga akhirnya sampai di tempat Sahara tinggal. Ketika Mahar sampai, dilihatlah Sahara sedang duduk di bawah pohon kelapa.
“Sahara!” teriak Mahar.
Sahara pun menghampirinya lalu berkata “Mahar. Apakah Ibunda sudah menyampaikannya kepada kalian?”
“Mengapa bisa seperti ini Sahara?” tanya Mahar.
“Bapak dan ibuku pergi berlayar dua minggu yang lalu, namun tak juga pulang. Baru kemarin aku mendapat kabar dari teman bapakku, katanya bapak dan ibuku telah meninggal terbawa gelombang besar di laut.” jelas Sahara.
“Lantas kenapa kau tidak datang ke sekolah? Ibunda dan teman-teman mengkhawatirkanmu!” kata Mahar.
“Sudah tak ada harapan lagi untukku meraih mimpi. Bapak dan ibu sudah tiada. Aku sudah tak bisa menunjukkan cita-citaku kepada mereka.” balas Sahara.

Berbagai usaha dan cara Muslimah lakukan agar Sahara tetap bisa belajar. Hingga akhirnya ia berhasil membawanya kembali ke sekolah. Namun itu semua bukan dilakukan oleh Muslimah sendirian, melainkan dengan bantuan anak-anak pelanginya yang lain. Sahara menjadi semakin pandai. Dia dan teman-temannya selalu diikutsertakan dalam kegiatan olimpiade. Dan anak-anak pelangi mendapatkan beasiswa dari kegiatan yang berbeda-beda.
Tidak sia-sia usaha Muslimah selama ini. Tekadnya berujung kebahagiaan. Anak-anak pelangi bisa melanjutkan belajarnya di jenjang yang lebih tinggi dan di tempat yang jauh lebih baik dari sekolah alam sebelumnya.

Meski Sahara tinggal tanpa orang tuanya dia tetap harus mengejar kesuksesannya. Begitulah yang ia tanamkan di hatinya. Di usia 21 tahunnya, Anak Timun ini bisa melanjutkan studi dan karir nya di Paris. Dan disana dia juga mengikat janji dengan Malin, seorang pengusaha muda yang sangat mapan. Itu semua menjadi bukti yang ingin dia tunjukan kepada bapak dan ibunya.

“Pak, Bu, hanya ini yang bisa ditunjukkan oleh Anak Timun kepada kalian. Tapi aku masih mengharapkan doa dari kalian untuk hidupku mendatang. Aku sangat menyayangi bapak dan ibu.” ucapnya dalam doa.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates