Entahlah susah banget nyari judul untuk cerita ini. Cerita ini sebenarnya saya buat saat mendapatkan tugas Bahasa Indonesia kelas 12 di SMA. Kalau difikir-fikir sih, cerita ini merupakan gabungan dari beberapa cerita yang sudah familiar di mata dan telinga kita. Maklum saya bukan orang yang ahli meulis, jadi cerita ini pun cerita yang cukup "seadanya" haha. Cekidott !!!
---
Suatu
ketika, hiduplah sepasang suami istri nelayan yang bernama Tarikh dan Siti.
Mereka hidup bahagia di pesisir pantai Kampong Gantong. Namun sayang
kebahagiaan mereka kurang lengkap, karena belum juga dikaruniai anak. Setiap
hari mereka selalu berdoa kepada Yang Maha Kuasa berharap dikaruniai seorang
anak.
Suatu
malam, terlihat suami istri itu tertidur lelap. Tiba-tiba sang istri berteriak
dan terbangun hingga suaminya pun ikut bangun.
“Kau
taka apa, Siti?” tanya suaminya.
Kemudian
istrinya menjawab dengan terengah-engah, “Aku bermimpi, Pak. Ada seseorang
dengan penampilan meyeramkan datang ke rumah kita.”
“Sudahlah,
itu hanya mimpi, Bu.”
“Tapi
Pak, dalam mimpiku dia menyimpan sesuatu di rumah kita. Aku takut ini pertanda
buruk.”
“Tenanglah!
Tak akan terjadi hal buruk apapun. Lebih baik kau kembali tidur, hari masih
sangat gelap!”
Namun
tetap saja Siti terbawa fikiran oleh mimpinya.
Pagi
harinya, saat Siti sedang menyapu daun-daun yang berserakan di depan rumahnya,
ia melihat sesuatu yang bercahaya di balik pohon kelapa. Tentu ia penasaran
dengan benda itu.
“Bapak!
kemari, Pak!” teriaknya.
“Ada
apa, Bu? pagi-pagi sudah teriak.”
“Walah.
Apa itu, Bu?” tanya Tarikh sambil tercengang.
“Ayo
lihat kesana, Pak!” sambil menarik tangan suaminya untuk melihat benda di balik
pohon kelapa itu.
“Ya
Allah, Pak! Buah timun ini besar sekali.”
“Iya,
Bu. Dari mana datangnya ya?” tanya suaminya kebingungan.
“Yasudah
bawa saja ke rumah, Pak!”
“Baik,
Bu, tapi tolong bantu aku mengangkatnya! Timun ini berat sekali.”
Kemudian
ditaruhlah timun itu di atas meja. Tapi entah kenapa Siti terlihat ketakutan.
“Pak, ini benda yang sama seperti di mimpiku.” bisiknya.
“Ini
tak ada hubungannya dengan mimpi, Bu. Coba kita belah saja timun ini. Tolong
ambilkan pisaunya!” perintah suaminya.
“Ini,
Pak!” sambil memberikan pisau.
Saat
Tarikh menancapkan pisaunya pada timun itu, terdengar samar-samar tangisan
bayi. Tanpa pikir panjang Tarikh membelah timun itu. Dan sungguh mengejutkan
karena sumber tangisan tadi adalah seorang bayi perempuan cantik yang ada di
dalam timun itu.
“Subhanallah,
Pak, ada bayi. Doa kita dikabulkan Pak.”
“Mungkin
seprti itu. Ini anugerah dari Tuhan untuk kita, Bu.”
Suasana
menjadi haru, yakni haru kebahagiaan. Tarikh dan Siti merawat bayi itu dengan
penuh cinta. Dengan adanya kehadiran bayi timun itu, keadaan rumah mereka tidak
lagi sepi. Selalu ada tangisan bayi setiap harinya.
Diurusinya
anak timun itu hingga menjadi gadis kecil yang cantik. Berkulit cokelat dan
berambut hitam. Sahara namanya. Kini ia berusia tujuh tahun. Saat bagi kedua
orang tuanya untuk mencarikan tempat belajar bagi anak timun mereka.
Suatu
hari, Tarikh mengajak Sahara berjalan-jalan di sekitar kampong. Ketika sedaang
mekihat keindahan danau, seorang wanita menghampiri mereka. Terkejutlah Tarikh
saat wanita itu menepuk pundaknya.
“Permisi,
Pak, apa gadis ini anak Bapak?” tanya wanita itu.
“Iya
benar, ada pa dengan anak saya?” balas Tarikh.
“Saya
sedang mencari sepuluh orang anak untuk saya ajar di sekolah miring di sana,
Pak.” sambil menunjuk sebuah bangunan kayu yang nampak tua. “Apakah Bapak
mengizinkan saya untuk membawa anak ini menjadi murid ke sepuluh saya?”
lanjutnya.
“Tentu
saja. Saya memang sedang mencari tempat belajar untuk Sahara.” jawab Tarikh
lantang.
“Jadi
namamu Sahara? Alhamdulillah, Sahara cantik, besok kau bisa belajar dan bermain
bersama teman-temanmu yang lain di sana.” Ucap wanita itu sambil mengusap
kepala Sahara dengan wajah yang sagat ceria.
Keesokan
harinya, Sahara diantarkan ke sekolah miring. Meskipun ternyata Sahara itu
murid perempuan satu-satunya , tapi dia tetap bergaul dengan senang hati. Baru
hari pertama saja, mereka sudah menunjukkan keakrabannya. Muslimah, guru di
sekolah itu sangat bahagia menyaksikan keceriaan anak-anaknya. Meski dengan
segala keterbatasan yang ada di sekolah itu, ia tetap bertekad menjadikan
kesepuluh muridnya menjadi generasi sinergi.
Seiring
baerjalannya waktu, Sahara dan teman-temannya bertambah usia. Lima tahun sudah
mereka belajar di sekolah miring itu. Sahara telah mengetahui bahwa dirinya
adalah anak timun. Meskipun begitu, dia tetap menjalani hidupnya dengan
semestinya. Dia semakin mengerti arti hidupnya. Hingga dia bisa menemukan impiannya
untuk terbang bersama kedua orang tuanya ke tempat yang indah.
Saat
Tarikh, Siti, dan Sahara berkumpul bersama, mereka membahas tentang cita-cita
anaknya itu. Tarikh dan Siti mengetahui bahwa anaknya itu adalah murid teladan.
Tentu saja, Sahara adalah anak yang rajin dan pintar. Dengan keteladanannya
itulah dia menjadi panutan bagi teman-temannya dan kesayangan Muslimah.
“Kau
memang hebat, Nak. Bapak dan ibu bangga kepadamu.”
PAK KETIPAK KETIPUNG MEJIKUHIBINIU!!!
Syair
yang selalu ditembangkan dengan penuh semangat oleh Sahara, gadis cantik nan
pintar . Sekolah alam mereka telah memberi berbagai inspirasi kepada
anak-anaknya. Seperti halnya saat di bukit pelangi. Tempat dimana anak-anak
sekolah miring menikmati keindahan bias pelangi.
Saat
itu Sahara bertanya kepada gurunya “Ibunda, aku sangat ingin pergi ke ujung
pelangi itu.”
“Tentu
bisa, Sahara.” jawab Muslimah sambil tersenyum.
“Kalian
semua harus bisa dan pasti bisa meraih impian kalian masing-masing. Ibunda
yakin bahwa kalian memiliki tekad yang sangat kuat dalam meraih mimpi. “
lanjutnya. Semua mata tertuju pada pelangi sambil merangkul teman
seperjuangannya. “ANAK PELANGI! KALIAN LUAR BIASA!” teriak Muslimah dan dibalas
dengan tawa gembira dari anak-anak pelanginya itu.
Beberapa
waktu Sahara tidak hadir sekolah. Sudah pasti Muslimah dan anak-anak lain
khawatir padanya. Mereka sangat mengharapkan kabar darinya. Keseokan harinya
pun dia tidak juga datang. Muslimah masuk ke tempat belajar dan tiba-tiba menyuruh anak-anaknya
untuk berkumpul.
“Anak-anak,
Ibunda dapat surat dari Sahara.” lontar Muslimah.
“Bacakan
saja bunda! Kami semua ingin tahu.” Jawab Mahar.
Kemudian
Muslimah membacakan suratnya.
Ibunda guru
Ayah ibuku telah meninggal dunia.
Nanti aku akan ke sekolah.
Untuk mengucapkan salam perpisahan
terakhirku.
Kepada guru dan teman-teman.
Semua menangis tak terkendali.
Seketika Mahar berlari dengan tujuan untuk bertemu dengan Sahara. Butuh waktu
yang cukup lama hingga akhirnya sampai di tempat Sahara tinggal. Ketika Mahar
sampai, dilihatlah Sahara sedang duduk di bawah pohon kelapa.
“Sahara!”
teriak Mahar.
Sahara
pun menghampirinya lalu berkata “Mahar. Apakah Ibunda sudah menyampaikannya
kepada kalian?”
“Mengapa
bisa seperti ini Sahara?” tanya Mahar.
“Bapak
dan ibuku pergi berlayar dua minggu yang lalu, namun tak juga pulang. Baru
kemarin aku mendapat kabar dari teman bapakku, katanya bapak dan ibuku telah
meninggal terbawa gelombang besar di laut.” jelas Sahara.
“Lantas
kenapa kau tidak datang ke
sekolah? Ibunda dan teman-teman mengkhawatirkanmu!” kata Mahar.
“Sudah
tak ada harapan lagi untukku meraih mimpi. Bapak dan ibu sudah tiada. Aku sudah
tak bisa menunjukkan cita-citaku kepada mereka.” balas Sahara.
Berbagai
usaha dan cara Muslimah lakukan agar Sahara tetap bisa belajar. Hingga akhirnya
ia berhasil membawanya kembali ke sekolah. Namun itu semua bukan dilakukan oleh
Muslimah sendirian, melainkan dengan bantuan anak-anak pelanginya yang lain. Sahara
menjadi semakin pandai. Dia dan teman-temannya selalu diikutsertakan dalam
kegiatan olimpiade. Dan anak-anak pelangi mendapatkan beasiswa dari kegiatan
yang berbeda-beda.
Tidak
sia-sia usaha Muslimah selama ini. Tekadnya berujung kebahagiaan. Anak-anak
pelangi bisa melanjutkan belajarnya di jenjang yang lebih tinggi dan di tempat
yang jauh lebih baik dari sekolah alam sebelumnya.
Meski
Sahara tinggal tanpa orang tuanya dia tetap harus mengejar kesuksesannya.
Begitulah yang ia tanamkan di hatinya. Di usia 21 tahunnya, Anak Timun ini bisa
melanjutkan studi dan karir nya di Paris. Dan disana dia juga mengikat janji
dengan Malin, seorang pengusaha muda yang sangat mapan. Itu semua menjadi bukti
yang ingin dia tunjukan kepada bapak dan ibunya.
“Pak,
Bu, hanya ini yang bisa ditunjukkan oleh Anak Timun kepada kalian. Tapi aku
masih mengharapkan doa dari kalian untuk hidupku mendatang. Aku sangat
menyayangi bapak dan ibu.” ucapnya dalam doa.
0 komentar:
Posting Komentar